Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sinopsis Film THE INVISIBLE MAN


“He said that wherever I went, he would find me. Walk right up to me, and I wouldn’t be able to see him.”

Sinopsis Film THE INVISIBLE MAN Pada mulanya, The Invisible Man yang didasarkan pada novel berjudul sama rekaan H.G. Wells ini dipersiapkan sebagai salah satu instalmen dalam Dark Universe. Sebuah semesta penceritaan sejenis MCU (Marvel Cinematic Universe) yang mempertemukan monster-monster klasik kepunyaan Universal Pictures. Tapi saat The Mummy(2017) yang dibintangi oleh Tom Cruise dihajar habis-habisan oleh kritikus dan babak belur pula di tangga box office, para petinggi studio pun seketika mundur teratur. Rencana untuk merekrut Johnny Depp sebagai bintang utama film ini dienyahkan, begitu pula dengan rencana untuk mengembangkan Dark Universe. Sebagai ganti konsep kelewat ambisius yang rontok di awal perjalanan tersebut, mereka menciptakan sebuah sajian seram yang berdiri sendiri tanpa ada kesinambungan dengan judul-judul lain. Guna merealisasikan proyek The Invisible Man, pihak studio lantas bekerja sama dengan Blumhouse Productions yang telah menunjukkan ketertarikan pada properti horor milik Universal Pictures sedari lama. Selaiknya film-film lain hasil keluaran Blumhouse, The Invisible Man pun tidak didesain sebagai tontonan berbujet raksasa. Memperoleh suntikan pendanaan “hanya” sebesar $7 juta, film yang menempatkan Leigh Whannell (Insidious Chapter 3, Upgrade) di kursi penyutradaraan ini mencoba mendekonstruksi narasi dengan mengambil perspektif penceritaan dari korban alih-alih pelaku. Itulah mengapa sekalipun bertajuk “lelaki gaib”, film justru menunjuk Elisabeth Moss untuk mengisi garda terdepan departemen akting.

Dalam The Invisible Man, peran yang dimainkan oleh Elisabeth Moss adalah seorang perempuan teraniaya bernama Cecilia atau Cee. Tinggal di sebuah rumah gedongan bersama sang kekasih yang tajir melintir berkat kecakapannya di bidang optik, Adrian Griffin (Oliver Jackson-Cohen), ternyata tidak memberikan sedikitpun kebahagiaan bagi Cee. Alasan utamanya, Adrian merupakan pribadi yang tak segan-segan melayangkan pukulan atau kata-kata penuh tipu muslihat demi mengontrol sang pasangan. Tak tahan dengan segala kekerasan yang diperolehnya, Cee lantas memutuskan untuk melarikan diri pada suatu malam dengan bantuan adiknya, Emily (Harriet Dyer). Demi memulihkan diri dari trauma seraya memperoleh ketenangan batin, Cee tinggal di rumah teman lamanya yang kini berprofesi sebagai detektif kepolisian, James (Aldis Hodge). Dikelilingi oleh orang-orang dengan kemampuan pertahanan diri yang mumpuni ternyata tak seketika membuat Cee merasa aman dan nyaman. Dia masih saja kesulitan memejamkan mata maupun meninggalkan rumah lantaran dirundung kekhawatiran akan disantroni oleh Adrian. Kecemasan yang meluap-luap ini kemudian perlahan tapi pasti pasti mulai menghilang setelah Cee mendapatkan kabar bahwa kekasihnya telah meninggal akibat bunuh diri. Selama beberapa waktu, protagonis utama kita ini mendapatkan lagi semangat hidupnya yang telah lama menghilang. Akan tetapi, usai beberapa kejadian aneh yang sulit terjelaskan menimpanya beserta orang-orang di sekitarnya, Cee curiga Adrian sejatinya belum benar-benar tiada dan kini sedang mengincarnya agar dia bersedia kembali ke pelukan sang mantan kekasih.


Menonton The Invisible Man di bioskop itu bikin hamba pengap saking sulitnya buat menghembuskan nafas lega sepanjang durasi mengalun. Betapa tidak, Leigh Whannell telah mengondisikan film untuk memiliki intensitas tinggi sedari adegan pembukanya yang akan dikenang sebagai “one of the best opening scene” hingga bertahun-tahun mendatang. Kita melihat Cee terbangun di tengah malam, lalu mengendap-endap ke ruang pakaian, dan bersiap-siap untuk mengeksekusi suatu pelarian besar yang telah dinanti-nantinya. Tanpa diiringi skoring musik, penonton hanya diperdengarkan pada kesunyian beserta sesekali suara deru ombak yang memecah di batu karang. Pada titik ini, kita memang belum mengetahui siapa-siapa saja karakter yang terlibat maupun persoalan yang meradang mereka. Namun kepiawaian Whannell dalam menciptakan ketegangan, memungkinkan jantung untuk ikut berdegup kencang sekalipun belum ada informasi terkait siapa sebetulnya Cee dan apa yang telah dilakukan oleh Griffin kepadanya. Ada sensasi cemas kala kamera menyoroti lorong kosong yang mungkin tidak betul-betul kosong (ehem, ingat judulnya!), ada sensasi kepo untuk mengetahui langkah yang hendak ditempuh Cee, dan ada pula keinginan untuk berteriak “ayo cepetan lari” ketika si karakter utama bertindak salah. Jika pada akhirnya nanti film berakhir jauh dari pengharapan, saya tentu tidak akan mengeluh berkepanjangan karena paling tidak, The Invisible Man telah menghadirkan daya cekam yang bakal mengendap lama di ingatan selama 15 menit.

Puji syukur alhamdulillah, Whannell tidak lantas membiarkan The Invisible Man berakhir sebagai sajian semenjana. Dalam sisa durasi, si pembuat film tetap membuat penonton mengalami kegelisahan di kursi bioskop. Terlebih, kita mulai menyadari situasi seperti apa yang menjerat para karakter inti. Cee adalah perempuan dari kalangan “jelata” yang mengalami KDRT, sementara Adrian adalah pria manipulatif yang bisa dengan mudah memanfaatkan kekuasaannya untuk menundukkan siapapun. Kepergian Cee dari tempat tinggalnya jelas bukan akhir dari persoalan karena Adrian tentu enggan melepaskannya begitu saja. Dan benar saja, seusai beberapa percakapan serta beberapa interaksi dengan nada pengisahan yang mengalun tenang dimana Whannell yang juga bertindak selaku penulis skenario memberikan gambaran mengenai relasi Cee dengan orang di sekitarnya – termasuk memperlihatkan upayanya untuk menanggulangi trauma – ketegangan perlahan kembali mengalami eskalasi. Cee mendeteksi ada sesuatu yang tidak beres di dekatnya, dan itu hampir bisa dipastikan berkaitan dengan Adrian. Tidak mungkin tidak. Karakter-karakter pendukung jelas diperlihatkan menyangkal segala teorinya, mengingat ada kemungkinan si protagonis mengalami paranoid berlebihan. Tapi sebagai penonton, kita dapat mengonfirmasi bahwa apa yang dilalui oleh Cee tidak hanya berlangsung di kepalanya semata melainkan memang betul terjadi. Adrian atau sosok jahat lain memang sedang mengintai gerak-gerik Cee, dan karena itulah, saya kerap mencengkram erat-erat kursi bioskop seraya menahan nafas.


Iringan musik dari Benjamin Wallfisch yang intens, tangkapan gambar Stefan Duscio yang menampilkan suasana serba muram, serta penyuntingan Andy Canny yang dinamis, memang berkontribusi besar dalam menguarkan elemen suspensedalam The Invisible Man. Akan tetapi, kombinasi teknis ini tentu tidak akan ada artinya tanpa sokongan performa ciamik dari jajaran pemain. Dari Oliver Jackson-Cohen, Aldis Hodge, sampai Storm Reid yang memerankan putri James, semuanya bermain kompeten. Mereka menyokong bintang sesungguhnya bagi film ini, Elisabeth Moss, yang telah mencuri simpati penonton sedari awal mula. Tidak dideskripsikan sebagai perempuan lemah tanpa daya, Cee berulang kali menunjukkan perlawanan dan usaha untuk mendapatkan lagi kehidupannya yang telah dihancurkan oleh Adrian. Dia cerdik, dia berani, dan dia penuh kalkulasi. Karakternya yang mudah untuk disematkan simpati inilah yang kemudian memungkinkan kita untuk merasakan was-was saat Adrian tampaknya telah tiba, merasakan ketegangan ketika Cee mencoba menyusun strategi, sampai akhirnya ingin bersorak-sorak tatkala jagoan kita ini sudah siap untuk bertempur melawan mantannya yang abusive. Semangat, Mbak Cee!

Outstanding (4/5)


Posting Komentar untuk "Sinopsis Film THE INVISIBLE MAN"